Menakar pengaturan PSU dalam pemilu
oleh: Supriatmo Lumuan
Ketua KPU Kab Banggai Kepulauan 2023-2028
#Repost KPU RI, Pemungutan Suara Ulang (PSU) adalah jalan yang disiapkan oleh regulasi untuk mengembalikan kemurnian dan kemuliaan kontestasi. Secara prinsip penerapan PSU harus diatur secara detail dan komprehensif. Kenapa harus diatur secara komprehensif? Karena, PSU adalah peristiwa extra ordinary yang harus diatur secara lebih ketat dan harus rinci, agar tidak digunakan secara tidak bertanggung jawab. PSU menjadi kejadian luar biasa, maka syarat-syarat untuk melaksanakan PSU juga harus luar biasa.
Dalam pelaksanaan pemilu, PSU diatur dalam Pasal 372 dan 373 Undang-undang (UU) Nomor 7 tentang Pemilu. Kalau kita membaca pasal ini, ada 3 pintu masuk terlaksananya PSU. Pertama, PSU bisa dilaksanakan ketika terjadi bencana dan kerusuhan yang membuat hasil pemilu tidak dapat digunakan. Kedua, PSU bisa dilakukan melalui jalur pengawas pemilu, berdasarkan hasil pengawasan pengawas TPS. Ketiga, melalui pintu KPU berdasarkan usulan KPPS.
Oleh karena itu, semua pintu masuk pelaksanaan PSU harus diatur secara ketat dan tergolong luar biasa kejadiannya. Contoh misalkan terjadi bencana dan kerusuhan, maka sepadan dengan PSU yang kita kriteriakan sebagai peristiwa luar biasa. Sehingga, untuk melaksanakan PSU butuh kejadian yang luar biasa pula untuk mengategorikan kejadian itu memenuhi syarat untuk dilaksanakan PSU, baik itu prosesnya maupun susbtansinya. Ini penting, untuk menyelamatkan demokrasi kita dari upaya menyederhanakan peristiwa yang terjadi dalam proses pungut hitung. Karena proses pungut hitung adalah mahkota dari proses panjang kontestasi kita.
Maka, menurut penulis ada dua hal yang perlu diperbaiki dalam rumusan Pasal 372 dan 373 dalam UU Nomor 7 tentang Pemilu maupun Pasal 80 ayat 3 PKPU 25 Tahun 2023 yang mengatur pelaksanaan PSU.
Perbaikan Proses PSU
Seperti yang telah diterangkan di atas, pintu masuk PSU ada tiga, untuk sebab pertama, tentu sudah clear dan jelas soal penyebabnya. Namun yang menarik soal pintu Bawaslu dan KPU yang kalau kita lihat, tidak setara dalam proses pengaturannya pasal yang mengatur soal PSU. Misalnya KPU, jajaran ad hoc hanya mengusulkan dan eksekusinya di KPU kabupaten. Sementara di pengawas pemilu hanya berdasarkan penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS. Harusnya dalam ketentuan itu diatur, bahwa soal PSU harus putuskan oleh Bawaslu kabupaten. Kenapa Bawaslu kabupaten? minimal ada dua alasannya; pertama, karena PSU adalah kejadian extra ordinary, maka Bawaslu kabupatenlah yang paling tepat dan berkompetensi memutuskannya. Sehingga PSU tidak lahir hanya dari rekomendasi jajaran ad hoc pengawas pemilu, tetapi haruslah Bawaslu kabupaten yang mengeluarkan putusan untuk memperkuat legitimasi putusan tersebut. Kedua, karena pelaksana PSU itu adalah KPU kabupaten, maka dari sisi struktur lembaga, Bawaslu kabupaten lah yang paling relevan mengeluarkan putusan, agar setara dan sesuai tingkatannya.
Perbaikan Indikator PSU
Dalam pengaturan PSU ada tambahan ketentuan yang diatur dalam PKPU nomor 25 tahun 2023 tentang pungut hitung, selain yang sudah diatur dalam Pasal 372 dan 373 UU pemilu. Kita bisa lihat dalam Pasal 80 ayat 3 PKPU Nomor 24 tahun 2023 yang menyebutkan bahwa; selain keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemungutan suara wajib diulang jika terdapat pemilih yang memberikan suara lebih dari 1 (satu) kali, baik pada satu TPS atau pada TPS yang berbeda. Kalau kita lihat pasal ini, memuat dua keadaan, yaitu seorang pemilih yang mencoblos dua kali dalam satu TPS dan seorang pemilih yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda. Untuk yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda, jelas mens rea (niat jahat) dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Tetapi, dalam konteks satu orang memilih dua kali dalam satu TPS harus ada penjelasan secara rinci dari sisi teknis dan mens rea nya harus terbukti, untuk mengkualifikasi sebagai pelanggaran yang berakibat PSU. Karena seseorang yang tanpa sadar diberikan surat suara lebih dan tak mengetahuinya saat mencoblos yang mengakibatkannya selisih jumlah antara jumlah pemilih dan jumlah suarat suara tidak relevan dihukumi PSU. Dan faktanya pada Pemilu 2024 banyak kasus PSU hanya karena selisih jumlah surat suara dengan jumlah pemilih dari satu jenis pemilihan, akibat kesalahan saat pemberian surat suara dari KPPS.
Oleh karena itu, penjelasan teknis penting untuk melihat apakah ada unsur kesengajaan atau karena masalah teknis, seseorang terkualifikasi mencoblos dua kali. Artinya, dua kali mencoblos harus jelas, apakah dua kali datang ke TPS yang sama untuk menggunakan hak pilihnya, atau sekali saja datang mencoblos tetapi terjadi kesalahan jumlah surat suara salah satu jenis pemilihan yang diberikan petugas KPPS. Pertanyaan ini, menurut penulis menjadi pertanyaan penting untuk menilai mens rea dan pelanggaran substansial dari pasal 80 ayat 3 PKPU tentang pungut hitung.
Selain itu, ada yang menarik dikaji lebih dalam soal pertanyaan, apakah kekeliruan seseorang mencoblos, bisa membatalkan keabsahan suara orang lain? Pertanyaan ini berkaitan dengan tegaknya prinsip one man one vote one value dan prinsip every vote count and count equally. Prinsip ini, menunjukkan, bahwa setiap suara rakyat dijamin dan dijaga kemuliaannya, mulai dari kebebasan dia memilih, nilainya, dan dihitung secara setara. Artinya kesalahan orang lain dalam mencoblos tidak boleh membatalkan suara orang lain, selama belum terbukti pelanggaran prinsip dasar dari kontestasi.
Oleh karena itu, PSU adalah jalan keluar paling akhir setelah proses pengkajian dan pemenuhan proses yang ketat. Indikatornya harus ketat tak boleh hanya karena selisih jumlah pemilih dan jumlah surat suara satu jenis pemilihan harus PSU. Bahkan, kalau kita membaca putusan-putusan Mahakamah Konsitutsi dalam memutuskan PSU di sebuah daerah, Mahkamah membutuhkan keterangan semua pihak dan di nalar dari sisi subtansial dan prosedur serta mendapatkan fakta yang beyond rasionable doubt (tanpa keraguan) untuk memutuskan PSU.
Oleh sebab itu, harus ada pengaturan kembali soal prosedur dan indikator terlaksananya PSU, untuk menghindari PSU menjadi strategi baru untuk mengubah hasil pemilu. Memperketat mekanisme dan syarat PSU menjadi kebutuhan, agar kita tidak terlalu mudah melaksanakan PSU. Aamiin