Untuk mengetahui apakah Anda terdaftar sebagai Pemilih, silakan kunjungi situs cekdptonline.kpu.go.id | Ayo kita Sukseskan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan di Kabupaten Sorong Selatan untuk Data Pemilih yang lebih baik

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Inklusivitas Pemilu berbasis Teknolog Informasi

     Inklusivitas Pemilu Berbasis Teknologi Informasi oleh: Retno Sirnopati Anggota KPU Kab Lombok Timur  Pemilu sebenarnya sejak lama sudah dilaksanakan sebagai mekanisme peralihan kekuasaan di Indonesia. Sejarah mencatat pemilu di Indonesia pertama dilaksanakan pada 1955, atau 10 tahun sejak berdirinya Republik ini. Saldi Isra dan Khairul Fahmi dalam Buku Pemilihan Umum Demokratis: Prinsip-prinsip dalam Konstitusi Indonesia, menyebutkan lintasan pemilu terbagi dalam empat fase, yaitu: Pemilu 1955, pemilu 1971-1997, pemilu 1999, dan pemilu 2004-2019. Sebuah perjalanan demokrasi yang cukup panjang. Pemilu pertama sejatinya dilaksanakan Januari, 1946. Melalui maklumat wakil presiden nomor X yang ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta. Namun penyelenggaraan itu batal dilaksanakan karena beberapa hal: 1) Undang-undang sebagai dasar hukum penyelenggaraan belum ada; 2) Kesiapan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu, dan 3) Stabilitas keamanan nasional.  Namun demikian desain pemilu konstitusional dan bebas sudah dirancang sejak indonesia di proklamirkan. Tepatnya dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Tapi karena alasan stabilitas keamanan dan gejolak politik internal dalam negeri, pemilu baru di laksanakan pada 1955 masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dengan payung hukum UU No. 7/1953.  Setelah itu pemilu berlangsung pada tahun 1971-1997 di bawah kekuasaan Orde Baru. Saat itu pemilu dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang disebut Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang langsung dipimpin Menteri Dalam Negeri dan memiliki struktur keanggotaan terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan dan Sekretariat Umum.  Gambaran struktur penyelenggara pemilu selama Orde Baru sampai dengan Reformasi mencerminkan sistem pemilu yang sangat eksklusif. Personalia penyelenggara pemilu langsung dilakukan pemerintah. Partai politik dikelompokkan ke dalam 3 organisasi parpol, yaitu: Golkar, PPP dan PDI.  Kenyataan pemilu sebelum reformasi jauh dari prinsip-prinsip pemilu dan keramah tamahan penyelenggaraan pemilihan terhadap peserta, pemilih dan kelompok civil society. Berbeda dengan pemilu pasca reformasi, 2004-2019, dengan dasar hukum UU No 12/2003, lalu diubah menjadi UU No. 22/2007, UU No. 15/2011 dan terakhir UU No. 7/2017, pemilu relatif terbuka dan terus mengalami perbaikan baik dari aspek regulasi, personalia, tata kelola kelembagaan dan pertanggungjawaban. Namun begitu, kelembagaan pemilu secara utuh, dari periode ke periode terus melakukan pembenahan sistem seiring perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi. Itu dilakukan guna menjamin pelaksanaan pemilu "ramah-tamah" kepada semua peserta, pemilih, dan stakeholder lainnya. Masa depan pemilu secara kualitas akan sangat ditentukan oleh kemampuan adaptasi serta transformasi kelembagaan pemilu terhadap kecepatan perkembangan teknologi informasi. Penerapan teknologi informasi pada proses penyelenggaraan pemilu akan menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas di segala tahapan.  Pada Pemilu 2024 misalnya, KPU memiliki sistem informasi berbasis teknologi informasi. Beberapa fitur aplikasi di tahapan teknis misalnya terdapat Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka), Sistem Informasi Pengganti Antarwaktu (Simpaw), Sistem Informasi Daerah Pemilihan (Sidapil). Semua fitur teknis itu diciptakan menjawab kebutuhan, kemudahan memperoleh informasi pemilu. Kemudian pada aspek regulasi, Sistem Informasi Hukum (penyelenggara pemilu (KPU) memiliki (Sikum), untuk informasi keuangan dan logistik ada Sistem Informasi Logistisk (Silog) dan Sistem Informasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan Pemilu (Sitab). Dan untuk Divisi Perencanaan, Data dan Informasi ada Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dan Sistem Informasi Daftar Pemilih (Sidalih). Pada aspek SDM dan Parhumas terdapat Sistem Informasi Kepegawaian (Simpeg) dan dan Sistem Informasi Partisipasi Masyarakat (Siparmas). Semua kategori aplikasi sistem informasi di atas tersedia dalam satu laman elektronik dalam sistem informasi teknologi yang sangat terbuka dan inklusif. Masyarakat dengan sangat mudahnya mencari dan mengunduh kebutuhan informasi penyelenggaraan pemilu dimanapun dan kapanpun. Tantangan Pemilu 2029 Pemilu mendatang akan memiliki tantangan baru yang lebih kompleks. Digitalisasi seluruh elemen tahapan pemilu membutuhkan kreativitas dan inovasi penyelenggaraan. Penggunaan Artificial Intelijen (AI) dalam perencanaan dan tahapan akan sangat membantu kerja kelembagaan KPU di seluruh jenjang pelaksanaan.  Di tengah kondisi efisiensi anggaran dan ketidakpastian ekonomi-politik global, pemanfaatan teknologi informasi menemukan fungsi strategisnya. Yose Rizal, Founder Pemilu AI, pada forum populi bertajuk, Revisi UU Pemilu: Tata Kelola Demokrasi Partisipatif Berbasis Inovasi," menyampaikan pentingnya regulasi terhadap penggunaan teknologi informasi. Potensi AI ini besar, jutaan data bisa diolah dengan cepat. Simulasi kampanye bisa disimulasikan dulu. Ancamannya memang ada tapi jangan kita hanya dapat ancaman saja tidak dapat manfaatnya. (https://nasional.kompas.com/read/2025/06/11/22442711/revisi-uu-pemilu-) Afrimadona dari populi center menyatakan selama ini pegiat teknologi dan kepemiluan berjalan terpisah. "Suka tidak suka teknologi menyelesaikan masalah integritas. Demokrasi punya sisi negatif dan teknologi mungkin bisa menetralisir hal ini, teknologi ini bisa diaudit, walau dikatakan ada bias algoritma, namun hal ini tetap bisa di cek."  Setidaknya pembicaraan forum populi manjadi rujukan bahwa penggunaan teknologi informasi pada proses pelaksanaan pemilu lebih efektif dan progresif memberi kepastian politik dan hukum pemilu. Ketika pemanfaatan teknologi informasi dan AI optimal dalam penyelenggaraan pemilu, semua komponen tahapan akan sangat mudah untuk diproses dan dianalisis kemudian memperkecil potensi konflik dan ketidakpastian akibat misinformasi di tengah masyarakat.  Akhirnya pendapat peneliti Perludem Khairunnisa Agustyanti menjadi penting untuk kita renungkan bersama bahwa kunci keberhasilan pemilu terletak di tengah-tengah trust masyarakat sebagai subjek demokrasi dan pemilu. Pemerintah, penyelenggara, komunitas demokrasi dan pemilu, hanya penyedia. Usernya adalah masyarakat dengan berbagai karakter dan kemampuannya. Maka bijaklah mendidik masyarakat agar mereka menikmati pembangunan demokrasi tanpa rasa ditipu demokrasi itu sendiri. Wallahu a'lam. (*)

Menakar pengaturan PSU dalam pemilu

 oleh: Supriatmo Lumuan Ketua KPU Kab Banggai Kepulauan 2023-2028 #Repost KPU RI, Pemungutan Suara Ulang (PSU) adalah jalan yang disiapkan oleh regulasi untuk mengembalikan kemurnian dan kemuliaan kontestasi. Secara prinsip penerapan PSU harus diatur secara detail dan komprehensif. Kenapa harus diatur secara komprehensif? Karena, PSU adalah peristiwa extra ordinary yang harus diatur secara lebih ketat dan harus rinci, agar tidak digunakan secara tidak bertanggung jawab. PSU menjadi kejadian luar biasa, maka syarat-syarat untuk melaksanakan PSU juga harus luar biasa. Dalam pelaksanaan pemilu, PSU diatur dalam Pasal 372 dan 373 Undang-undang (UU) Nomor 7 tentang Pemilu. Kalau kita membaca pasal ini, ada 3 pintu masuk terlaksananya PSU. Pertama, PSU bisa dilaksanakan ketika terjadi bencana dan kerusuhan yang membuat hasil pemilu tidak dapat digunakan. Kedua, PSU bisa dilakukan melalui jalur pengawas pemilu, berdasarkan hasil pengawasan pengawas TPS. Ketiga, melalui pintu KPU berdasarkan usulan KPPS. Oleh karena itu, semua pintu masuk pelaksanaan PSU harus diatur secara ketat dan tergolong luar biasa kejadiannya. Contoh misalkan terjadi bencana dan kerusuhan, maka sepadan dengan PSU yang kita kriteriakan sebagai peristiwa luar biasa. Sehingga, untuk melaksanakan PSU butuh kejadian yang luar biasa pula untuk mengategorikan kejadian itu memenuhi syarat untuk dilaksanakan PSU, baik itu prosesnya maupun susbtansinya. Ini penting, untuk menyelamatkan demokrasi kita dari upaya menyederhanakan peristiwa yang terjadi dalam proses pungut hitung. Karena proses pungut hitung adalah mahkota dari proses panjang kontestasi kita. Maka, menurut penulis ada dua hal yang perlu diperbaiki dalam rumusan Pasal 372 dan 373 dalam UU Nomor 7 tentang Pemilu maupun Pasal 80 ayat 3 PKPU 25 Tahun 2023 yang mengatur pelaksanaan PSU. Perbaikan Proses PSU Seperti yang telah diterangkan di atas, pintu masuk PSU ada tiga, untuk sebab pertama, tentu sudah clear dan jelas soal penyebabnya. Namun yang menarik soal pintu Bawaslu dan KPU yang kalau kita lihat, tidak setara dalam proses pengaturannya pasal yang mengatur soal PSU. Misalnya KPU, jajaran ad hoc hanya mengusulkan dan eksekusinya di KPU kabupaten. Sementara di pengawas pemilu hanya berdasarkan penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS. Harusnya dalam ketentuan itu diatur, bahwa soal PSU harus putuskan oleh Bawaslu kabupaten. Kenapa Bawaslu kabupaten? minimal ada dua alasannya; pertama, karena PSU adalah kejadian extra ordinary, maka Bawaslu kabupatenlah yang paling tepat dan berkompetensi memutuskannya. Sehingga PSU tidak lahir hanya dari rekomendasi jajaran ad hoc pengawas pemilu, tetapi haruslah Bawaslu kabupaten yang mengeluarkan putusan untuk memperkuat legitimasi putusan tersebut.  Kedua, karena pelaksana PSU itu adalah KPU kabupaten, maka dari sisi struktur lembaga, Bawaslu kabupaten lah yang paling relevan mengeluarkan putusan, agar setara dan sesuai tingkatannya. Perbaikan Indikator PSU Dalam pengaturan PSU ada tambahan ketentuan yang diatur dalam PKPU nomor 25 tahun 2023 tentang pungut hitung, selain yang sudah diatur dalam Pasal 372 dan 373 UU pemilu.  Kita bisa lihat dalam Pasal 80 ayat 3 PKPU Nomor 24 tahun 2023 yang menyebutkan bahwa; selain keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemungutan suara wajib diulang jika terdapat pemilih yang memberikan suara lebih dari 1 (satu) kali, baik pada satu TPS atau pada TPS yang berbeda. Kalau kita lihat pasal ini, memuat dua keadaan, yaitu seorang pemilih yang mencoblos dua kali dalam satu TPS dan seorang pemilih yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda. Untuk yang mencoblos dua kali di TPS yang berbeda, jelas mens rea (niat jahat) dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Tetapi, dalam konteks satu orang memilih dua kali dalam satu TPS harus ada penjelasan secara rinci dari sisi teknis dan mens rea nya harus terbukti, untuk mengkualifikasi sebagai pelanggaran yang berakibat PSU. Karena seseorang yang tanpa sadar diberikan surat suara lebih dan tak mengetahuinya saat mencoblos yang mengakibatkannya selisih jumlah antara jumlah pemilih dan jumlah suarat suara tidak relevan dihukumi PSU. Dan faktanya pada Pemilu 2024 banyak kasus PSU hanya karena selisih jumlah surat suara dengan jumlah pemilih dari satu jenis pemilihan, akibat kesalahan saat pemberian surat suara dari KPPS. Oleh karena itu, penjelasan teknis penting untuk melihat apakah ada unsur kesengajaan atau karena masalah teknis, seseorang terkualifikasi mencoblos dua kali. Artinya, dua kali mencoblos harus jelas, apakah dua kali datang ke TPS yang sama untuk menggunakan hak pilihnya, atau sekali saja datang mencoblos tetapi terjadi kesalahan jumlah surat suara salah satu jenis pemilihan yang diberikan petugas KPPS. Pertanyaan ini, menurut penulis menjadi pertanyaan penting untuk menilai mens rea dan pelanggaran substansial dari pasal 80 ayat 3 PKPU tentang pungut hitung. Selain itu, ada yang menarik dikaji lebih dalam soal pertanyaan, apakah kekeliruan seseorang mencoblos, bisa membatalkan keabsahan suara orang lain? Pertanyaan ini berkaitan dengan tegaknya prinsip one man one vote one value dan prinsip every vote count and count equally. Prinsip ini, menunjukkan, bahwa setiap suara rakyat dijamin dan dijaga kemuliaannya, mulai dari kebebasan dia memilih, nilainya, dan dihitung secara setara. Artinya kesalahan orang lain dalam mencoblos tidak boleh membatalkan suara orang lain, selama belum terbukti pelanggaran prinsip dasar dari kontestasi. Oleh karena itu, PSU adalah jalan keluar paling akhir setelah proses pengkajian dan pemenuhan proses yang ketat. Indikatornya harus ketat tak boleh hanya karena selisih jumlah pemilih dan jumlah surat suara satu jenis pemilihan harus PSU. Bahkan, kalau kita membaca putusan-putusan Mahakamah Konsitutsi dalam memutuskan PSU di sebuah daerah, Mahkamah membutuhkan keterangan semua pihak dan di nalar dari sisi subtansial dan prosedur serta mendapatkan fakta yang beyond rasionable doubt (tanpa keraguan) untuk memutuskan PSU. Oleh sebab itu, harus ada pengaturan kembali soal prosedur dan indikator terlaksananya PSU, untuk menghindari PSU menjadi strategi baru untuk mengubah hasil pemilu. Memperketat mekanisme dan syarat PSU menjadi kebutuhan, agar kita tidak terlalu mudah melaksanakan PSU. Aamiin

Pilkada Serentak, Fenomena Meningkatnya Calon Tunggal

Pilkada Serentak, Fenomena Meningkatnya Calon Tunggal oleh : Supriatmo Lumuan, Ketua KPU Kab. Banggai Kepulauan Periode 2023-2028 Fenomena calon tunggal adalah fenomena politik yang terbilang baru dalam pelaksanaan kontestasi pilkada. Calon tunggal pertama kali muncul pada Pilkada tahun 2015. Bermula dari gugatan yang diajukan oleh Effendi Gazali. Pada dasarnya penggugat menyebutkan ada kerugian konstitusional bagi daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon. Penggugat pada prinsipnya mempersoalkan pasal yang menyebutkan bahwa: Dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya (Pasal 89 ayat 4 PKPU No. 12 tahun 2015). Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang membolehkan adanya calon tunggal, maka babak baru proses pilkada khususnya berkaitan dengan lahirnya calon tunggal ini dimulai Potret Calon Tunggal Dalam Pilkada Titi Anggraini menyebutkan bahwa pada awalnya, kehadiran calon tunggal sebagai jalan konstitusional untuk mengatasi kebuntuan politik akibat hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar, padahal masih banyak partai-partai yang memenuhi syarat untuk mendaftarkan calon (Kompas 23 Nov 2024). Namun dalam perjalanannya calon tunggal mengalami peningkatan dari pilkada ke pilkada. Potret calon Tunggal dalam konfigurasi pilkada adalah bagian dari mandeknya proses kaderisasi tingkat lokal. Padahal dalam demokrasi bukan hanya soal hak untuk memilih yang sangat fundamental, tetapi  juga soal hak untuk dipilih yang tercermin dari proses pencalonan yang mampu menghadirkan banyak pilihan bagi publik. Namun, kehadiran calon tunggal dalam pilkada, adalah cermin di mana proses pencalonan tidak menggambarkan keinginan publik untuk mendapatkan calon lebih dari satu. Sebetulnya, lebih banyak calon dari sisi publik lebih menguntungkan, agar publik lebih punya banyak pilihan. Peningkatan calon tunggal dapat kita lihat dari data Pilkada 2015 terdapat tiga daerah calon tunggal, tahun 2017 ada 9 daerah calon tunggal, tahun 2018 ada 16 daerah calon tunggal, tahun 2020 ada 25 daerah calon tunggal, dan  2024 ada 37 daerah calon tunggal. Meningkatnya calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada dari tahun ke tahun menunjukkan ada yang salah dalam proses kaderisasi dalam tubuh partai politik. Partai politik tidak lagi jadi organisasi yang secara spesifik mencetak kader-kader pemimpin di tingkat lokal. Kondisi ini membuat partai politik menjadi pragmatis dalam menentukan calon-calon yang akan ditawarkan kepada Masyarakat. Tampilnya Paslon tunggal dalam kontestasi pilkada menunjukkan sejumlah hal, antara lain pertama, kelemahan partai politik dalam karakter ideologisnya; kedua, kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kinerjanya; dan ketiga, pragmatisme partai politik dalam kebijakannya (Arif Budiman. 2018. 129). Partai politik tidak lagi jadi produsen calon pemimpin di daerah, tetapi lebih hanya menjadi semacam “tumpangan” bagi siapa saja yang ingin merebut kuasa di tingkat lokal. Akibatnya, partai politik menjadi pragmatis  dalam menentukan calon-calonnya. Tidak ada lagi pertimbangan kaderisasi dan ideologis dalam penentuan calon. Calon-calon yang memiliki sumber daya yang besar bisa menghimpun seluruh partai dalam proses pencalonan, sehingga muncullah calon tunggal. Tentu ini tidak boleh terus-menerus dibiarkan agar demokrasi kita tumbuh dengan baik dan berkualitas. Partai politik harus mengubah cara pandangnya soal pencalonan. Pertimbangan kaderisasi dan ideologis harus jadi pertimbangan yang penting dalam menentukan calon kepala daerah ke depan. Kemenangan Kotak Kosong Perkembangan dinamika calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada menjadi menarik untuk dibahas dan didiskusikan. Pertanyaannya apakah calon tunggal mencerminkan aspirasi publik atau malah mencerminkan upaya para elit lokal untuk menutup keran pencalonan? Karena, kehadiran calon tunggal membuat publik berada di persimpangan untuk memilih, karena secara implisit memaksa publik untuk memilih calon tunggal tersebut. Namun, jika kita melihat data mulai dari lahirnya calon tunggal pada Pilkada 2015 sampai Pilkada 2024 tentu secara persentase kemenangannya calon Tunggal sangat fantastik. Tetapi, ada tiga daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong, yaitu Pemilihan Wali Kota Makassar tahun 2018 (Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika 47% VS Kotak Kosong 53%), Pilkada Kab. Bangka Tahun 2024 (Mulkan-Ramadian 42.75% VS Kotak Kosong 57,25% dan Pemilihan Wali Kota Pangkalpinang tahun 2024 ( H. Maulana Akil-H. Masagus M. Hakim 42,02% VS Kotak Kosong 57,98%). Data di atas menunjukkan betapa partai politik dalam proses pencalonan tidak melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya. Padahal keterlibatan publik dalam proses pilkada bukan hanya soal kehadiran mereka di tempat-tempat pemungutan suara, namun lebih dari itu, bahwa publik terlibat juga soal proses pencalonan yang akan dilakukan oleh para elit. Dari fakta ketiga daerah tersebut yang dimenangkan oleh kotak kosong memberi isyarat, bahwa pilihan elit di dalam memborong partai politik untuk mengusung calonnya tidak selalu sesuai dengan keinginan publik. Kemenangan kotak kosong dalam pilkada serentak 2024 menyoroti beberapa tantangan signifikan dalam pembenahan sistem politik dan pemilu di Indonesia. Fenomena ini patut menjadi perhatian, terutama dalam konteks penguatan demokrasi dan representasi politik yang lebih baik. Pertama, kemenangan kotak kosong menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang disajikan oleh partai-partai politik. Kedua, kondisi ini membuat diskusi lebih jauh tentang reformasi internal partai politik. Ketiga, adanya kemenangan kotak kosong mengindikasikan perlunya evaluasi terhadap regulasi pilkada (Heri Suheri. 2025. 89). Perlu perbaikan secara lebih substansial soal proses pencalonan, agar pilkada betul-betul dimanfaatkan oleh partai politik untuk menunjukkan eksistensinya di dalam proses pembangunan lokal. Partai politik tidak bisa lagi pragmatis dalam menentukan calonnya, tetapi lebih ideologis mengutamakan kader-kader terbaiknya untuk ditawarkan pada publik. Di sisi lain partai-partai politik harus berbenah diri bila ingin tetap selaras dengan keinginan publik. Kemenangan kotak kosong adalah peringatan nyata bagi mereka untuk lebih mendengar aspirasi konstituen dan berkomitmen pada perbaikan sistem politik. Ini dapat dimulai dengan menawarkan platform politik yang lebih inklusif dan melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan (Heri Suheri. 2025.95). Putusan Mahkamah konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh partai buruh dan partai gelora yang pada pokoknya memutuskan bahwa: semua partai politik peserta pemilu baik yang memiliki kursi di parlemen maupun yang tidak berhak mengusung calon dan persentase dukungan yang disamakan dengan calon perseorangan, adalah langkah maju dalam proses pencalonan pilkada. Menurut penulis, putusan ini menjadi jalan keluar dari semakin tingginya kebuntuan proses pencalonan yang menghadirkan calon tunggal. Semoga pilkada berikutnya, partai politik lebih terbuka dan ada political engagement yang luas dari masyarakat pada saat proses pencalonan. (Sumber : www.kpu.go.id)  

Penyambung Lidah di Kalangan Akar Rumput

Penyambung Lidah di Kalangan Akar Rumput oleh: Anggota KPU Sumba Tengah Divisi Partisipasi Masyarakat     Suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Serentak Tahun 2024 di Kabupaten Sumba Tengah, tidak hanya berkat kerja teknis dan regulasi, tetapi juga berkat kerja aktor-aktor penggerak partisipasi rakyat di garis depan. Salah satunya Relawan Demokrasi (Relasi), komponen sukarela yang menjadi penyambung lidah Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada masyarakat akar rumput. Relasi bukan sekadar program pelengkap, dalam konteks Sumba Tengah daerah yang memiliki tantangan geografis dan keragaman sosial budaya Relasi justru memainkan peran penting dalam memecah sekat informasi, mendekatkan pesan-pesan kepemiluan kepada warga desa, komunitas adat, kelompok pemuda, hingga kelompok marginal yang selama ini kerap jauh dari sentuhan informasi formal. Relasi hadir dengan dasar Hukum dan payung regulasi, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu. (Menjadi tonggak awal terbentuknya skema pelibatan Relawan Demokrasi di Pemilu 2019). Keputusan KPU RI Nomor 12/PP.06-Kpt/06/KPU/I/2019 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Relawan Demokrasi Pemilu Tahun 2019. Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. (Regulasi terbaru yang masih berlaku, memperkuat peran serta masyarakat dalam pendidikan pemilih dan mendorong pelibatan Relasi secara aktif. Dan Keputusan KPU Nomor 86 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Serentak Tahun 2024. (Menjadi pedoman operasional kegiatan sosialisasi, termasuk metode, sasaran, hingga pelibatan Relawan Demokrasi). Dari regulasi tersebut, Relasi memiliki pijakan hukum yang kuat, bukan sekadar inisiatif lokal, melainkan kebijakan nasional yang dijalankan secara kontekstual oleh KPU kabupaten/kota, termasuk KPU Kabupaten Sumba Tengah. Peran Strategis di Tengah Tantangan: Masyarakat Sumba Tengah yang sebagian besar tersebar di wilayah pedesaan, memiliki kearifan lokal dan pola komunikasi yang khas. Dalam kondisi tersebut, Relasi hadir bukan hanya sebagai juru bicara KPU, tetapi juga sebagai penafsir budaya yang mampu menyampaikan pesan-pesan pemilu dengan bahasa rakyat. Mereka tidak bekerja di balik meja, tetapi terjun langsung ke lapangan. Menyambangi rumah warga, berdialog di balai adat, berbicara dalam bahasa lokal, menyampaikan pesan melalui pendekatan humanis dan kreatif. Mereka menyalakan obor demokrasi dari titik paling bawah tempat di mana informasi sering terlambat sampai, dan kesadaran politik masih perlu ditumbuhkan. Menjawab Tantangan Partisipasi: Tingkat partisipasi masyarakat di Sumba Tengah dalam beberapa penyelenggaraan pemilu dan pilkada sebelumnya selalu fluktuasi. Salah satu tantangan utamanya adalah kesenjangan informasi dan minimnya literasi politik. Maka dari itu, kehadiran Relasi adalah jawaban konkret terhadap tantangan tersebut. Dengan metode komunikasi yang disesuaikan dengan kearifan lokal, Relasi menjadi kekuatan sosial yang tidak bisa diremehkan. Mereka menyampaikan pentingnya memilih, menjelaskan proses dan tahapan, serta mendorong warga untuk menjadi pemilih cerdas dan berdaulat. Penutup: Saatnya Diperkuat, bukan sekadar diperbantukan Relasi adalah pejuang sunyi demokrasi. Mereka tidak dibekali anggaran besar, tetapi mengandalkan semangat kolektif dan kepedulian terhadap nasib demokrasi di daerahnya. Mereka bukan buzzer, bukan corong politik, bukan aparat penyelenggara, tetapi jembatan antara negara dan rakyat dalam urusan demokrasi elektoral. Sudah saatnya program ini tidak sekadar menjadi proyek tahunan menjelang pemilu, tetapi menjadi bagian dari pendidikan pemilih yang berkelanjutan. Jika demokrasi adalah milik semua, maka Relasi adalah utusan yang menjaganya tetap hidup di setiap rumah warga. Di Kabupaten Sumba Tengah, Relasi bukan hanya penyambung lidah KPU mereka adalah denyut nadi demokrasi di pedalaman, motor penggerak kesadaran warga tentang pentingnya suara, hak pilih, dan partisipasi aktif. Mereka bekerja dalam diam, namun kontribusinya terasa nyata saat masyarakat mulai paham bahwa pemilu bukan sekadar rutinitas lima tahunan, melainkan panggung kedaulatan rakyat. Relasi adalah perwujudan dari cita-cita besar demokrasi yang inklusif. Dengan memperkuat dan memberdayakan mereka, KPU tidak hanya menyelenggarakan pemilu yang prosedural, tetapi juga menanamkan akar demokrasi yang kokoh hingga ke pelosok desa. Karena demokrasi yang sejati bukan hanya diselenggarakan, tetapi juga dihidupi bersama oleh rakyatnya dengan informasi, partisipasi, dan kesadaran yang tumbuh dari bawah. (*) (Sumber : www.kpu.go.id)

Publikasi