Inklusivitas Pemilu berbasis Teknolog Informasi

Inklusivitas Pemilu Berbasis Teknologi Informasi

  

 

Inklusivitas Pemilu Berbasis Teknologi Informasi
oleh: Retno Sirnopati
Anggota KPU Kab Lombok Timur 

Pemilu sebenarnya sejak lama sudah dilaksanakan sebagai mekanisme peralihan kekuasaan di Indonesia. Sejarah mencatat pemilu di Indonesia pertama dilaksanakan pada 1955, atau 10 tahun sejak berdirinya Republik ini. Saldi Isra dan Khairul Fahmi dalam Buku Pemilihan Umum Demokratis: Prinsip-prinsip dalam Konstitusi Indonesia, menyebutkan lintasan pemilu terbagi dalam empat fase, yaitu: Pemilu 1955, pemilu 1971-1997, pemilu 1999, dan pemilu 2004-2019. Sebuah perjalanan demokrasi yang cukup panjang.

Pemilu pertama sejatinya dilaksanakan Januari, 1946. Melalui maklumat wakil presiden nomor X yang ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta. Namun penyelenggaraan itu batal dilaksanakan karena beberapa hal: 1) Undang-undang sebagai dasar hukum penyelenggaraan belum ada; 2) Kesiapan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu, dan 3) Stabilitas keamanan nasional. 

Namun demikian desain pemilu konstitusional dan bebas sudah dirancang sejak indonesia di proklamirkan. Tepatnya dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Tapi karena alasan stabilitas keamanan dan gejolak politik internal dalam negeri, pemilu baru di laksanakan pada 1955 masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dengan payung hukum UU No. 7/1953. 

Setelah itu pemilu berlangsung pada tahun 1971-1997 di bawah kekuasaan Orde Baru. Saat itu pemilu dilaksanakan oleh sebuah lembaga yang disebut Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang langsung dipimpin Menteri Dalam Negeri dan memiliki struktur keanggotaan terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan dan Sekretariat Umum. 

Gambaran struktur penyelenggara pemilu selama Orde Baru sampai dengan Reformasi mencerminkan sistem pemilu yang sangat eksklusif. Personalia penyelenggara pemilu langsung dilakukan pemerintah. Partai politik dikelompokkan ke dalam 3 organisasi parpol, yaitu: Golkar, PPP dan PDI. 

Kenyataan pemilu sebelum reformasi jauh dari prinsip-prinsip pemilu dan keramah tamahan penyelenggaraan pemilihan terhadap peserta, pemilih dan kelompok civil society. Berbeda dengan pemilu pasca reformasi, 2004-2019, dengan dasar hukum UU No 12/2003, lalu diubah menjadi UU No. 22/2007, UU No. 15/2011 dan terakhir UU No. 7/2017, pemilu relatif terbuka dan terus mengalami perbaikan baik dari aspek regulasi, personalia, tata kelola kelembagaan dan pertanggungjawaban.

Namun begitu, kelembagaan pemilu secara utuh, dari periode ke periode terus melakukan pembenahan sistem seiring perubahan zaman dan perkembangan teknologi informasi. Itu dilakukan guna menjamin pelaksanaan pemilu "ramah-tamah" kepada semua peserta, pemilih, dan stakeholder lainnya.

Masa depan pemilu secara kualitas akan sangat ditentukan oleh kemampuan adaptasi serta transformasi kelembagaan pemilu terhadap kecepatan perkembangan teknologi informasi. Penerapan teknologi informasi pada proses penyelenggaraan pemilu akan menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas di segala tahapan. 

Pada Pemilu 2024 misalnya, KPU memiliki sistem informasi berbasis teknologi informasi. Beberapa fitur aplikasi di tahapan teknis misalnya terdapat Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka), Sistem Informasi Pengganti Antarwaktu (Simpaw), Sistem Informasi Daerah Pemilihan (Sidapil). Semua fitur teknis itu diciptakan menjawab kebutuhan, kemudahan memperoleh informasi pemilu.

Kemudian pada aspek regulasi, Sistem Informasi Hukum (penyelenggara pemilu (KPU) memiliki (Sikum), untuk informasi keuangan dan logistik ada Sistem Informasi Logistisk (Silog) dan Sistem Informasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan Pemilu (Sitab). Dan untuk Divisi Perencanaan, Data dan Informasi ada Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dan Sistem Informasi Daftar Pemilih (Sidalih). Pada aspek SDM dan Parhumas terdapat Sistem Informasi Kepegawaian (Simpeg) dan dan Sistem Informasi Partisipasi Masyarakat (Siparmas).

Semua kategori aplikasi sistem informasi di atas tersedia dalam satu laman elektronik dalam sistem informasi teknologi yang sangat terbuka dan inklusif. Masyarakat dengan sangat mudahnya mencari dan mengunduh kebutuhan informasi penyelenggaraan pemilu dimanapun dan kapanpun.

Tantangan Pemilu 2029

Pemilu mendatang akan memiliki tantangan baru yang lebih kompleks. Digitalisasi seluruh elemen tahapan pemilu membutuhkan kreativitas dan inovasi penyelenggaraan. Penggunaan Artificial Intelijen (AI) dalam perencanaan dan tahapan akan sangat membantu kerja kelembagaan KPU di seluruh jenjang pelaksanaan. 

Di tengah kondisi efisiensi anggaran dan ketidakpastian ekonomi-politik global, pemanfaatan teknologi informasi menemukan fungsi strategisnya. Yose Rizal, Founder Pemilu AI, pada forum populi bertajuk, Revisi UU Pemilu: Tata Kelola Demokrasi Partisipatif Berbasis Inovasi," menyampaikan pentingnya regulasi terhadap penggunaan teknologi informasi. Potensi AI ini besar, jutaan data bisa diolah dengan cepat. Simulasi kampanye bisa disimulasikan dulu. Ancamannya memang ada tapi jangan kita hanya dapat ancaman saja tidak dapat manfaatnya. (https://nasional.kompas.com/read/2025/06/11/22442711/revisi-uu-pemilu-)

Afrimadona dari populi center menyatakan selama ini pegiat teknologi dan kepemiluan berjalan terpisah. "Suka tidak suka teknologi menyelesaikan masalah integritas. Demokrasi punya sisi negatif dan teknologi mungkin bisa menetralisir hal ini, teknologi ini bisa diaudit, walau dikatakan ada bias algoritma, namun hal ini tetap bisa di cek." 

Setidaknya pembicaraan forum populi manjadi rujukan bahwa penggunaan teknologi informasi pada proses pelaksanaan pemilu lebih efektif dan progresif memberi kepastian politik dan hukum pemilu. Ketika pemanfaatan teknologi informasi dan AI optimal dalam penyelenggaraan pemilu, semua komponen tahapan akan sangat mudah untuk diproses dan dianalisis kemudian memperkecil potensi konflik dan ketidakpastian akibat misinformasi di tengah masyarakat. 

Akhirnya pendapat peneliti Perludem Khairunnisa Agustyanti menjadi penting untuk kita renungkan bersama bahwa kunci keberhasilan pemilu terletak di tengah-tengah trust masyarakat sebagai subjek demokrasi dan pemilu. Pemerintah, penyelenggara, komunitas demokrasi dan pemilu, hanya penyedia. Usernya adalah masyarakat dengan berbagai karakter dan kemampuannya. Maka bijaklah mendidik masyarakat agar mereka menikmati pembangunan demokrasi tanpa rasa ditipu demokrasi itu sendiri. Wallahu a'lam. (*)


artboard_7

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 38 Kali.