Pilkada Serentak, Fenomena Meningkatnya Calon Tunggal
Pilkada Serentak, Fenomena Meningkatnya Calon Tunggal
oleh : Supriatmo Lumuan, Ketua KPU Kab. Banggai Kepulauan Periode 2023-2028
Fenomena calon tunggal adalah fenomena politik yang terbilang baru dalam pelaksanaan kontestasi pilkada. Calon tunggal pertama kali muncul pada Pilkada tahun 2015. Bermula dari gugatan yang diajukan oleh Effendi Gazali. Pada dasarnya penggugat menyebutkan ada kerugian konstitusional bagi daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon.
Penggugat pada prinsipnya mempersoalkan pasal yang menyebutkan bahwa: Dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya (Pasal 89 ayat 4 PKPU No. 12 tahun 2015).
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 yang membolehkan adanya calon tunggal, maka babak baru proses pilkada khususnya berkaitan dengan lahirnya calon tunggal ini dimulai
Potret Calon Tunggal Dalam Pilkada
Titi Anggraini menyebutkan bahwa pada awalnya, kehadiran calon tunggal sebagai jalan konstitusional untuk mengatasi kebuntuan politik akibat hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar, padahal masih banyak partai-partai yang memenuhi syarat untuk mendaftarkan calon (Kompas 23 Nov 2024). Namun dalam perjalanannya calon tunggal mengalami peningkatan dari pilkada ke pilkada. Potret calon Tunggal dalam konfigurasi pilkada adalah bagian dari mandeknya proses kaderisasi tingkat lokal.
Padahal dalam demokrasi bukan hanya soal hak untuk memilih yang sangat fundamental, tetapi juga soal hak untuk dipilih yang tercermin dari proses pencalonan yang mampu menghadirkan banyak pilihan bagi publik. Namun, kehadiran calon tunggal dalam pilkada, adalah cermin di mana proses pencalonan tidak menggambarkan keinginan publik untuk mendapatkan calon lebih dari satu. Sebetulnya, lebih banyak calon dari sisi publik lebih menguntungkan, agar publik lebih punya banyak pilihan.
Peningkatan calon tunggal dapat kita lihat dari data Pilkada 2015 terdapat tiga daerah calon tunggal, tahun 2017 ada 9 daerah calon tunggal, tahun 2018 ada 16 daerah calon tunggal, tahun 2020 ada 25 daerah calon tunggal, dan 2024 ada 37 daerah calon tunggal.
Meningkatnya calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada dari tahun ke tahun menunjukkan ada yang salah dalam proses kaderisasi dalam tubuh partai politik. Partai politik tidak lagi jadi organisasi yang secara spesifik mencetak kader-kader pemimpin di tingkat lokal. Kondisi ini membuat partai politik menjadi pragmatis dalam menentukan calon-calon yang akan ditawarkan kepada Masyarakat. Tampilnya Paslon tunggal dalam kontestasi pilkada menunjukkan sejumlah hal, antara lain pertama, kelemahan partai politik dalam karakter ideologisnya; kedua, kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kinerjanya; dan ketiga, pragmatisme partai politik dalam kebijakannya (Arif Budiman. 2018. 129).
Partai politik tidak lagi jadi produsen calon pemimpin di daerah, tetapi lebih hanya menjadi semacam “tumpangan” bagi siapa saja yang ingin merebut kuasa di tingkat lokal. Akibatnya, partai politik menjadi pragmatis dalam menentukan calon-calonnya. Tidak ada lagi pertimbangan kaderisasi dan ideologis dalam penentuan calon. Calon-calon yang memiliki sumber daya yang besar bisa menghimpun seluruh partai dalam proses pencalonan, sehingga muncullah calon tunggal. Tentu ini tidak boleh terus-menerus dibiarkan agar demokrasi kita tumbuh dengan baik dan berkualitas. Partai politik harus mengubah cara pandangnya soal pencalonan. Pertimbangan kaderisasi dan ideologis harus jadi pertimbangan yang penting dalam menentukan calon kepala daerah ke depan.
Kemenangan Kotak Kosong
Perkembangan dinamika calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada menjadi menarik untuk dibahas dan didiskusikan. Pertanyaannya apakah calon tunggal mencerminkan aspirasi publik atau malah mencerminkan upaya para elit lokal untuk menutup keran pencalonan? Karena, kehadiran calon tunggal membuat publik berada di persimpangan untuk memilih, karena secara implisit memaksa publik untuk memilih calon tunggal tersebut.
Namun, jika kita melihat data mulai dari lahirnya calon tunggal pada Pilkada 2015 sampai Pilkada 2024 tentu secara persentase kemenangannya calon Tunggal sangat fantastik. Tetapi, ada tiga daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong, yaitu Pemilihan Wali Kota Makassar tahun 2018 (Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika 47% VS Kotak Kosong 53%), Pilkada Kab. Bangka Tahun 2024 (Mulkan-Ramadian 42.75% VS Kotak Kosong 57,25% dan Pemilihan Wali Kota Pangkalpinang tahun 2024 ( H. Maulana Akil-H. Masagus M. Hakim 42,02% VS Kotak Kosong 57,98%).
Data di atas menunjukkan betapa partai politik dalam proses pencalonan tidak melibatkan partisipasi publik yang seluas-luasnya. Padahal keterlibatan publik dalam proses pilkada bukan hanya soal kehadiran mereka di tempat-tempat pemungutan suara, namun lebih dari itu, bahwa publik terlibat juga soal proses pencalonan yang akan dilakukan oleh para elit. Dari fakta ketiga daerah tersebut yang dimenangkan oleh kotak kosong memberi isyarat, bahwa pilihan elit di dalam memborong partai politik untuk mengusung calonnya tidak selalu sesuai dengan keinginan publik.
Kemenangan kotak kosong dalam pilkada serentak 2024 menyoroti beberapa tantangan signifikan dalam pembenahan sistem politik dan pemilu di Indonesia. Fenomena ini patut menjadi perhatian, terutama dalam konteks penguatan demokrasi dan representasi politik yang lebih baik. Pertama, kemenangan kotak kosong menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang disajikan oleh partai-partai politik. Kedua, kondisi ini membuat diskusi lebih jauh tentang reformasi internal partai politik. Ketiga, adanya kemenangan kotak kosong mengindikasikan perlunya evaluasi terhadap regulasi pilkada (Heri Suheri. 2025. 89).
Perlu perbaikan secara lebih substansial soal proses pencalonan, agar pilkada betul-betul dimanfaatkan oleh partai politik untuk menunjukkan eksistensinya di dalam proses pembangunan lokal. Partai politik tidak bisa lagi pragmatis dalam menentukan calonnya, tetapi lebih ideologis mengutamakan kader-kader terbaiknya untuk ditawarkan pada publik. Di sisi lain partai-partai politik harus berbenah diri bila ingin tetap selaras dengan keinginan publik. Kemenangan kotak kosong adalah peringatan nyata bagi mereka untuk lebih mendengar aspirasi konstituen dan berkomitmen pada perbaikan sistem politik. Ini dapat dimulai dengan menawarkan platform politik yang lebih inklusif dan melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan (Heri Suheri. 2025.95).
Putusan Mahkamah konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh partai buruh dan partai gelora yang pada pokoknya memutuskan bahwa: semua partai politik peserta pemilu baik yang memiliki kursi di parlemen maupun yang tidak berhak mengusung calon dan persentase dukungan yang disamakan dengan calon perseorangan, adalah langkah maju dalam proses pencalonan pilkada. Menurut penulis, putusan ini menjadi jalan keluar dari semakin tingginya kebuntuan proses pencalonan yang menghadirkan calon tunggal.
Semoga pilkada berikutnya, partai politik lebih terbuka dan ada political engagement yang luas dari masyarakat pada saat proses pencalonan.
(Sumber : www.kpu.go.id)